SIWAK EL-MUSLIM
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2km-Vi-t4x0uGm1ivNI8tDjQOAidq8w3mcCjGtSfjq6hoVNaDMmnHSp2xrGvQvF1QbPZH25zXQsoG9uml5pi0qjw5zENUGKf1rmuVgNM3U3f1mdVV9OA6xl-4Fsu8VmgwLbyqB4J4tTE/s72-c/DSCF5552.JPG
Descriptions...
[1]. Menghilangkan Rasa Kantuk saat khutbah
jum’at dengan siwak
Ada
pertanyaan yang sampai kepada Syaikh al-Utsaimin -rahimahullah- sebagai
berikut: “Kapankan menggunakan siwak itu ditekankan? Apa hukum memakai siwak
untuk menanti shalat ketika khutbah?”
Syaikh
menjawab: “Ditekankan memakai siwak ketika bangun tidur, awal masuk rumah,
ketika wudlu ketika berkumur, dan apabila bangun untuk melakukan shalat.
Tidak
mengapa bagi orang yang menanti shalat memakai siwak, akan tetapi dalam keadaan
khutbah tidak boleh bersiwak, karena menyibukkannya, kecuali apabila ia
mengantuk, maka dibolehkan bersiwak untuk menghilangkan rasa kantuknya”.
(Fatawa Arkan al-Islam, hlm. 215, no. 133, Dar Tsurayya, Riyadh, cet. 1, 1421
H, dikumpulkan oleh Fahd bin Nashir as-Sulaiman)
[2].
“Mereka bersiwak bersama-sama, tentu akan memakan kita !”
Ada
sebuah hikayat batil yang telah disebutkan oleh sebagian penceramah dan pemberi
nasihat yang berkaitan dengan siwak. Berikut kisahnya:
Pada
suatu hari para sahabat sedang dalam peperangan. Dan ternyata orang-orang kafir
berhasil menangkap mereka. Maka mereka bertanya-tanya tentang sebabnya.
Kemudian mereka mengingat-ingat sunnah Nabi sholallohu'alaihi wasallam
apakah yang telah mereka tinggalkan? Kemudian mereka ingat tentang sunnahnya
siwak.
Akhirnya
mereka bersiwak. Dan musuhpun melihatnya. Kemudian mereka berlari
terbirit-birit karena takut dari para sahabat. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya
mereka membersihkan gigi mereka –yaitu meruncingkannya– untuk memakan kita”.
Demikianlah kisahnya.
Mengomentari
kisah ini, asy-Syuqairi -rahimahullah- mengatakan: “Tidak ada asalnya. Bila
engkau heran, maka yang lebih mengherankan lagi adalah kisah tersebut dibawakan
oleh orang-orang yang berpura-pura mengetahui terhadap hikayat ini dan
menyebarkannya kepada manusia di suatau perkumpulan dan pelajaran, padahal
kisah tersebut batil”. (as-Sunan wa al-Mubtada’at, hlm. 29)
[3].
Meletakkan Siwak di telinga
Berikut
ini adalah salah satu bentuk perhatian seorang sahabat terhadap siwak.
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Aku melihat Zaid duduk di masjid dengan siwak berada di telinganya, sebagaimana sebuah pena di telinga seorang penulis. Setiap kali berdiri untuk shalat ia bersiwak”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 47 dan Syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Aku melihat Zaid duduk di masjid dengan siwak berada di telinganya, sebagaimana sebuah pena di telinga seorang penulis. Setiap kali berdiri untuk shalat ia bersiwak”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 47 dan Syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)
[4].
Sekitar seratus hadits tentang siwak
Ibnu
Mulaqqin -rahimahullah- mengatakan: “Aku telah menyebutkan dalam kitab aslinya,
di sana ada sekitar seratus hadits atau lebih semuanya berbicara tentang siwak
dan hal-hal yang berkaitan dengannya”. (Khulashah al-Badr al-Munir, juz 1, hlm.
31, tahqiq Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi)
[5].
Jangan berlebihan Apabila bersiwak di masjid
Ada
sebuah pertanyaan yang pernah sampai ke al-Lajnah ad-Da`imah: “Aku pernah
mendengar seorang mengatakan bahwa bersiwak di dalam masjid tidak boleh. Apakah
ini benar?”.
Lajnah
menjawab: “… Wa ba’du. bersiwak adalah sunnah dan ditekankan setiap kali
dibutuhkan. Dibolehkan melakukannya di dalam masjid dan diluar masjid. Hal itu
karena tidak ada nash yang melarang hal tersebut dalam masjid padahal
diperlukan untuk melakukannya. Selain itu juga berdasarkan keumuman hadits:
لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ
عَلَى أُمَّتِيْ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِ صَلاَةٍ
Sekiranya
aku tidak memberatkan umatku, tentu aku sudah memerintahkan mereka agar bersiwak
setiap kali hendak shalat.
Meski
demikian, tidak sepantasnya berlebih-lebihan dalam bersiwak yang dapat
mengakibatkan muntah tatkala di dalam masjid. Sebab dikhawatirkan akan keluar
muntah atau darah yang dapat mengotori masjid”. (Fatawa al-Lajnah jilid 5, hlm.
109)
[6].
Perbedaan Urutan bersiwak dengan urutan memberi minum
Apabila
terdapat suatu urutan dalam bersiwak, -seperti bergantian dalam memakainya-,
maka orang yang kita beri setelah kita selesai adalah orang yang lebih tua. Ini
berbeda dengan urutan memberi minum, yaitu orang yang berada di sebelah
kananlah yang berhak kita berikan minumannya, meskipun yang sebelah kirinya
adalah orang tua. Dalilnya adalah:
كَانَ إِذَا اسْتَنَّ
أَعْطَى السَّوَاكَ الأَكْبَرَ، وَإِذَا شَرِبَ أَعْطَى الَّذِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ
Dahulu
beliau (yaitu Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-) apabila memakai siwak,
maka beliau memberikan kepada orang yang paling tua, dan apabila minum, maka
beliau memberikan kepada orang yang berada di sebelah kanan beliau. )Shahih al-Jami’,
no. 4668, shahih)
[7].
Keharusan Bersiwak pada hari Raya Pekanan
Hari
jum’at adalah hari raya ketiga yang dimiliki oleh kaum muslimin, setelah Idul
Fithri dan Idul Adha. Pada hari raya pekanan ini Rasulullah -shollallahu alaihi
wa sallam- menjelaskan:
إِنَ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَمَنْ
جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيْبٌ،
فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ
بِالسِّوَاكِ
Sesungguhnya
hari ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah untuk kaum muslimin.
Barangsiapa yang akan pergi shalat jum’at, maka hendaknya ia mandi, apabila ia
memiliki minyak wangi maka hendaknya dia memakainya, dan wajib atas kalian
bersiwak”. (Shahih al-Jami’, no. 2258)
KONTAK
PERSON :087836916654
Posting Komentar